SARIAYU
SARIAYU
Raja siang terbangun dari ranjangnya, ayam berkokok dengan suara merdu, dan seluruh masyarakat mulai beraktivitas seperti biasa. Di kota Klaten yang ramah, terdapat sebuah rumah bak keraton Yogyakarta. Di rumah itu ada seorang gadis berwajah cantik laksana Nyi Roro Kidul, namanya Gusti Raden Ayu Sariayu. Ia biasanya dipanggil Sariayu. Kulitnya putih bak susu sapi segar, rambutnya panjang lurus sebatas punggung, tubuhnya ramping bak gitar berdawai, hidungnya semancung hidung pinokio, keningnya tertutup poni sebatas alis, matanya sipit dan bening bagaikan kristal, giginya rapi bagaikan biji jagung berbaris, dan bibirnya merah merekah. Kini, ia genap berusia 24 tahun.
Suatu hari, Sariayu menjalani upacara siraman di rumahnya karena ia akan segera menikah dengan tunangannya, Gusti Raden Mas Rudi. Rudi adalah teman kecil Sariayu yang sudah lama menjadi pria pilihannya. Ia merupakan pria yang seiman, senasib, sepenanggungan, dan seumuran dengannya. Wajahnya tampan laksana Sri Sultan Hamengku Buwono X di masa muda. Tubuhnya tegap gagah perkasa laksana Werkudara. Begitu juga kedua orangtua mereka yang selalu saling mendukung demi masa depannya. Sebelum acara siraman dimulai, ia meminta izin kepada orangtuanya terlebih dahulu.
“Wahai romo dan biyungku tercinta, izinkan putrimu untuk menjalani prosesi upacara adat ini dengan sebaik-baiknya”, ujar Sariayu sembari menitikan air mata.
“Wahai putriku, romo akan mengihklaskan kamu atas keputusanmu sendiri karena kamu sudah dewasa”, ujar sang ayah.
“Wahai putriku, biyung juga sependapat dengan romomu. Semoga Tuhan Sang Hyang Widhi merestui kalian berdua”, ujar sang ibu yang juga ikut menangis.
Ketika upacara siraman berlangsung, Sariayu tersenyum sambil menitikan air mata. Begitu juga Rudi yang juga tak sabar ingin segera menikah. Usai siraman, malam harinya diadakan upacara midodareni dengan pakaian berwarna merah darah. Di acara itu, ia tidak diperkenankan menemui tunangannya hingga di hari pernikahan tiba. Rudi beserta kedua orang tuanya memberikan barang yang cocok untuknya antara lain: kosmetik, perlengkapan mandi, barang kebutuhan sehari-hari, dan juga perhiasan emas. Pasca midodareni, Rudi diberikan pakaian berwarna putih bersih oleh calon mertuanya untuk dipakaikan pada acara pawiwahan di esok hari.
“Rudi, besok pagi kamu harus mengenakan pakaian ini ketika upacara pawiwahan berlangsung”, pesan sang calon ibu mertua sambil memberikan pakaian itu kepada Rudi.
“Baiklah budhe! Saya akan mengenakan pakaian ini untuk upacara pawiwahan besok”, sahut Rudi seraya menerima pemberian dari beliau.
Keesokan harinya, kedua mempelai dipertemukan melalui prosesi pawiwahan oleh pendanda dan dilanjutkan dengan prosesi panggih yang diiringi Gending Bindring. Ketika upacara panggih dimulai, kedua mempelai saling menyematkan cincin emas murni di jari manis secara bergantian, sang suami mengucapkan sumpah, pembacaan do’a, dan dilanjutkan dengan pemberian mas kawin berupa uang sebesar seratus juta rupiah dan perhiasan emas seberat delapan gram. Sejak saat itu, kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri baik secara agama maupun negara. Mereka menangis bahagia dengan sepenuh hati. Mereka mulai melakukan balangan sirih, wijik, dan pecah telor oleh pemaes. Tak lupa mereka juga melakukan tampa kaya yang melambangkan penyerahan nafkah dahar walimah. Para besan datang diiringi Gending Boyong dan dilanjutkan upacara sungkeman ketika upacara panggih hampir berakhir.
“Sariayu, selamat datang di keluarga kami yang penuh dengan keharmonisan! Semoga ananda hidup bahagia bersama putra kami tercinta dan betah di keluarga kami”, ujar sang ayah mertua.
“Sariayu, kami akan selalu bersamamu dalam keadaan suka dan duka”, ujar sang ibu mertua.
“Ananda mengucapkan terima kasih kepada romo dan biyung yang menerimaku sebagai menantu di keluarga ini. Semoga Tuhan Sang Hyang Widhi membalas kebaikan romo dan biyung”, ucap Sariayu dengan penuh terima kasih.
“Saya mengucapkan terima kash kepada romo dan biyung yang telah mengizinkan saya untuk menikah dengan Sariayu”, ucap Rudi dengan penuh haru di hadapan kedua orangtua Sariayu.
Malam harinya, mereka menikmati malam pertamanya sambil melihat bintang jatuh. Mereka juga melakukan yoga dan meditasi secara bersamaan dan tersembunyi di kamar tidurnya. Dalam meditasinya, mereka membayangkan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Mereka juga berhubungan intim menjelang tidur. Dalam keadaan pintu terkunci, para besan tidak bisa mengintip keadaan sang pengantin baru. Mereka hanya bisa berdo’a agar kedua mempelai dalam keadaan baik-baik saja.
“Diajeng, kira-kira berapa anak yang akan kita miliki sebagai penerus kita ke depan?”, tanya Rudi seraya memeluk istrinya dengan penuh kehangatan.
“Aku akan melahirkan sampai empat orang anak jika kau bersedia”, jawab Sariayu dengan penuh cinta.
“Berapa pun anak yang lahir dari rahimmu, asalkan kita harus saling memberikan kasih sayang kepada anak cucu kita dengan sepenuh hati”, ujar sang suami dengan mantap.
“Aku juga begitu, Dimas Rudi. Semoga yang kau katakan itu benar”, ungkap Sariayu dengan penuh harap.
Mereka saling memeluk tubuhnya dengan sangat erat hingga akhirnya tertidur. Pelukannya bak lem super lengket yang tak mudah lepas sampai kapan pun. Dalam tidurnya, mereka bermimpi berbulan madu di sebuah taman bunga yang indah. Mereka menari sambil menyanyikan lagu cinta dengan penuh perasaan bahagia. Mereka bercumbu tanpa dilihat oleh siapapun hingga hujan lebat turun membasahi tubuh mereka yang dibaluti oleh jubah emas. Mereka juga saling mencium pipi dan bibir bak saling menggigit satu sama lain. Kemudian tubuh mereka perlahan-lahan terguling mengelilingi taman itu hingga tak sadarkan diri.
Seminggu kemudian, kedua mempelai beserta keluarga besar mengadakan resepsi pernikahan mewah dengan adat Jawa gaya Yogyakarta yang dilaksanakan di Hotel The Phoenix Yogyakarta yang memiliki suasana yang bergaya kolonial dengan sentuhan budaya Jawa. Kedua mempelai mengenakan busana Jawa gaya Yogyakarta berwarna emas murni. Sementara para besan mengenakan busana berwarna cokelat. Untuk para kerabat keluarga besar, mereka lebih cenderung mengenakan busana berwarna merah muda untuk pria dan merah jambu untuk wanita. Acara ini dihadiri seribu enam ratus tamu undangan yang mayoritas teman-teman lama kedua mempelai dan kerabat kerja para besan.
Upacara itu diawali dengan prosesi kirab yang diiringi Gending Gatibrongta. Sang pawang kirab mengantarkan kedua mempelai beserta para besan menuju pelaminan. Mereka berjalan perlahan-lahan bak melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki. Selama kirab berlangsung, hadir pula Tari Edan-Edanan yang bertujuan sebagai penolak bala. Usai kirab, mereka duduk di tempat yang disediakan. Sedangkan untuk para kerabat keluarga besar, ditempatkan di tempat khusus. Para tamu undangan yang hadir berbaris untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan menyantap hidangan yang telah disediakan.
“Selamat menempuh hidup baru! Semoga hidup bahagia sampai di hari tua”, ucap salah satu tamu undangan kepada Sariayu yang tak lain adalah teman SMA nya.
“Terima kasih sudah datang ke sini” balas Sariayu sambil tersenyum.
“Sambil reuni, jeng”, ungkap tamu itu lagi.
“Diajeng, siapa wanita itu?”, tanya sang suami kepada Sariayu.
“Itu teman SMA ku, Dimas”, jawab Sariayu.
Dua bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli Sariayu mulai mual dan pusing. Rudi yang terkejut melihatnya, ia membawa istrinya ke rumah sakit. Berdasarkan diagnosis oleh dokter kandungan, Sariayu positif hamil 5 minggu.
“Wahai Tuhan Sang Hyang Widhi! Aku ucapkan terima kasih pada-Mu karena istriku bisa hamil untuk pertama kalinya”, ungkap sang suami sambil menangis bahagia.
“Dimas, akhirnya kita mendapatkan kado istimewa dari Sang Pencipta”, tutur sang istri seraya memeluk suaminya.
“Anakku, 9 bulan lagi kau akan lahir ke dunia. Kamu yang sabar ya, nak”, ujar sang suami sambil mencium perut istrinya yang hampir membuncit.
Akhirnya mereka menyadari, bahwa perjuangan cinta mereka adalah cobaan terindah untuk mereka hingga bisa meninkmati hasilnya di hari tua nanti.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar