AMIN
AMIN
Sang fajar telah kembali ke tempat peristirahatannya. Suara pukulan bedug mengiringi suara adzan Maghrib sebagai pertanda bahwa waktu berbuka puasa akan segera dimulai. Mami tengah menyiapkan takjil dan menu untuk berbuka puasa seperti kolak singkong, es degan, donat kentang, nasi putih, tumis pare, dan bakwan. Sementara papi masih membaca Al-Qur’an. Aku dan adik semata wayangku, Rahma sudah bersiap-siap untuk menunggu berbuka puasa. Adzan pun telah tiba. Kami segera berbuka dengan meminumkan es degan buatan mami. Selanjutnya kami menyantap hidangan yang telah disediakan dan bergegas untuk melaksanakan salat Maghrib. Usai salat, Rahma berpesan agar aku segera menemaninya di masjid untuk melaksanakan salat Tarawih.
“Kak, maukah kakak pergi ke masjid bersamaku untuk melaksanakan salat Tarawih?”, tanya Rahma.
“Insya Allah kakak akan segera ke sana.”, jawabku.
“Hore! Akhirnya ada yang mau menemaniku di masjid. Hore! Terima kasih, kak!”, ujar Rahma dengan girang.
“Sama-sama. Tapi, kamu harus berjanji untuk tidak nakal di masjid karena sekarang kamu sudah duduk di bangku kelas 11 IPA.”, balasku sambil berpesan kepada adikku.
“Iya, kak. Aku janji untuk tidak nakal asal kakak tidak boleh memanggilku kucing maupun singa walaupun hidungku pesek dan rambutku yang megar.”, sahut Rahma.
Adzan Isya mulai berkumandang dan kami bergegas berangkat ke masjid, kecuali mamiku. Kami biasanya berangkat ke masjid dengan jalan kaki. Dalam perjalanan, aku memandang dewi malam yang tengah menyapaku dari jauh. Aku menatapnya dengan senyuman seolah-olah ia tengah berbicara denganku. Sinarnya mengingatkanku dengan teman lamaku yang saat ini tengah kuliah di negeri orang. Galaksi di langit mengiringi langkah kami menuju masjid yang tak jauh dengan rumah kami. Setiap langkah kaki yang kami pijak, menuntun kami menuju rumah Allah SWT. Tak peduli dengan deru motor yang berkerumunan di tengah jalan. Kami tetap santai melangkahkan kaki kami menuju masjid.
“Cepetan, kak! Iqamahnya mau berbunyi lho?!”, ujar Rahma dengan langkah terburu-buru.
“Iya, Ma. Ini masih lama. Untuk apa kamu jalan terburu-buru? Nanti kamu malah jatuh.”, sahutku dengan kesal.
“Kak, kalau kita datang terlambat, nanti jatahnya di barisan terbelakang yang penuh dengan anak kecil.”, sahut Rahma dengan nada marah.
“Iya! Iya!”, bentakku.
Akhirnya kami tiba di masjid tepat waktu. Kami segera mencari tempat yang kosong di barisan terdepan. Beruntung masih ada tempat yang kosong di barisan sana yang berdampingan di samping ibu-ibu. Sambil menunggu iqamah, kami biasanya duduk santai atau melaksanakan salat sunah dua rakaat. Ketika iqamah mulai berbunyi, kami bangkit duduk untuk melaksanakan salat Isya. Tanpa sadar, usai membaca surat Al-Fatihah saya mengucapkan “AMIN” dengan nada yang panjang dan tinggi. Karena suaraku yang sangat keras, beberapa anak kecil malah asyik mendengarkan suaraku yang dianggap sangat merdu hingga mereka menertawakanku. Beruntung semuanya masih khusyuk selama melaksanakan salat tersebut. Rahma yang berada di sampingku merasa malu atas kejadian tadi. Usai melaksanakan salat Isya dan salat sunah Bakda Isya 2 rakaat, Rahma tiba-tiba memprotes gara-gara pelaksanaan salat tadi.
“Kakak, apakah kau tidak malu dengan kejadian tadi?”, tanya Rahma.
“Lho? Mengapa memangnya? Ada yang salah dalam salat?”, akunya yang langsung bertanya balik kepadanya.
“Tadi setiap selesai membaca Al-Fatihah, suara kakak kencang sekali saat mengucapkan ‘AMIN’. Tidak sadarkah kakak bahwa ada yang menertawakan kakak saat sedang salat yaitu anak kecil.”, ujar Rahma dengan nada marah.
“Halah! Begitu saja kok dipermasalahkan?”, sahutku dengan perasaan cuek.
“Ya sudah. Terserah kamu!”, bentak Rahma.
Aku tidak peduli dengan komentar adikku yang sepedas keripik setan level dua puluh. Komentar pedasnya membuat telingaku mulai gatal dan rasanya seperti terbakar api unggun. Saat salat Tarawih dan Witir dimulai, aku masih melakukan hal yang sama. Namun, aku tetap khusyuk dalam melaksanakan salat tanpa suatu halangan apapun. Salat telah usai. Kami bergegas meninggalkan masjid dengan tertib. Sesuai dengan kebiasaan di kampung itu, tidak lupa kami saling bersalam-salaman dengan para tetangga tanpa kecuali.
Dalam perjalanan pulang, dewi malam masih tampak bersinar seperti saat kami berangkat ke masjid. Aku mulai menatapnya kembali dan membayangkannya bahwa ia adalah teman dekatku. Aku hanya menyapanya dalam hati. Perlahan-lahan ia tertutup kabut gelap dan hampir tidak tampak lagi. Ketika kami tiba di rumah, ia lenyap dalam kegelapan dan kini tinggal bintang yang masih menyinari dunia yang fana ini. Kami mulai memijakan kaki ke dalam gubug yang semahal villa jaman dulu dan langsung menuju kamar mandi belakang untuk membasuh kaki kami yang berdebu.
“Sekarang kakak sudah puas dengan kejadian tadi?”, tanya Rahma sambil membasuh kakinya.
“Maksudmu mengucapkan ‘AAAMIIINN’?”, sahutku dengan kesal.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar