MANG GADIR
MANG GADIR
Magadir Magadir Ya Ghalbil Ala Magadir
Magadir Magadir Ya Ghalbil Ala Magadir
Alunan qasidah yang merdu melingkari suasana malam di Kampung Dangdut dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Kampung itu terletak di Kabupaten Magelang di mana wilayah itu sangat kental dengan budaya zaman dulu. Kampung itu menyimpan banyak sejarah dalam melestarikan budaya dangdut yang dianggap sebagai budaya asli Indonesia. Di kampung itu dipimpin oleh Mang Gadir yang merupakan seorang kepala desa yang sangat menyebalkan. Beliau berperawakan besar, rambutnya berjambul Bandara Soekarno-Hatta, berkulit putih, dan bertingkah laku seperti banci bila ada lelaki yang menghampirinya apalagi terhadap perempuan. Hal itu dianggap wajar karena masyarakat sangat malu dengan tingkah lakunya yang menjijikan dan dipandang tidak manusiawi sehingga tidak ada satupun warga yang bertegur sapa padanya tanpa kecuali.
Di pagi buta, beliau beranjak dari tempat tidurnya untuk melaksanakan sahur bersama keluarganya. Beliau biasanya membangunkan istri dan anak-anaknya bila beliau bangun tidur terlebih dahulu agar bisa melaksanakan sahur bersama-sama. Namun, hanya sang istri yang tidak bisa melaksanakan sahur karena tengah datang bulan.
“Astagfirullahal ‘adzim! Maafkan aku, Mas! Hari ini saya belum bisa berpuasa karena tengah datang bulan sejak kemarin. Tapi insya allah bila sudah selesai, saya akan berpuasa seperti biasa. Mohon maaf bila yang saya ucapkan ini telah menyinggung perasaan kang mas.”, ujar sang istri yang bernama Fatimah itu sambil memohon ampun kepada suaminya.
“Apa katamu Fatimah? Kamu datang bulan? Bagaimana bisa? Kamu telah mengecewakan eike. Kamu membuat eike malu di depan masyarakat. Jadi, mana ada seorang istri yang harus melaporkan diri kepada suaminya bila ia datang bulan? Itu sangat memalukan! Itu hanya masalah pribadi tentang perempuan. Pokoknya eike tidak mau tahu! Kamu tetap harus memasak seperti biasa! Segera!”, bentak Mang Gadir dengan kesal sambil menampar wajah cantik istrinya.
Dengan perasaan sedih dan kecewa, Fatimah segera berangkat ke dapur untuk menyiapkan sahur. Sementara keempat anak kembarnya: Biru, Kuning, Hijau, dan Merah merasa frustrasi dengan tingkah laku ayahnya yang menyebalkan dan menjijikan. Mereka sama-sama membuang muka bila sang ayah menyapa kepada mereka karena ingin segera muntah melihatnya. Usai melaksanakan sahur, mereka berwudlu dan melaksanakan salat Subuh berjamaah di masjid sebelah tanpa didampingi oleh Mang Gadir. Akibatnya, Mang Gadir harus terpakasa melaksanakan salat Subuh sendirian di rumah dan keluarganya pula menjadi bahan ejekan para tetangga di sekitar kampung itu.
Ketika raja siang beranjak dari peraduannya, Biru beserta ketiga adik kembarnya sedang jalan-jalan mengelilingi kampung sambil melambaikan tangan mereka kepada seluruh tetangga, tetapi tidak ada satupun tetangga yang menanggapinya. Mereka justru mendapatkan cacian dari para tetangga, kecuali Banyu yang merupakan teman sekolah mereka.
“Assalamu’alaikum teman-teman! Bagaimana kabar kalian? Apakah kalian baik-baik saja?”, sapa Banyu sambil menanyakan tentang kabar mereka.
“Wa’alaikum salam, Nyu! Kami sedang sedih hari ini karena tingkah laku ayah kami yang menyebalkan dan menjijikan. Kami mengalami kesulitan dalam menghadapi ayah kami yang menyebalkan. Kami sering dicaci maki oleh para tetangga kami sehingga kami tidak bisa berbuat apa-apa.”, jawab Merah sambil menitikan air mata.
“Oh.... Jadi, begitu ceritanya? Lalu, bagaimana dengan puasa kalian? Pasti menyenangkan, kan?”, tanya Banyu.
“Dari kami berempat, hanya Mbak Biru dan Mbak Kuning yang tengah berhalangan. Jadi, mereka menyusul minggu depan.”, jawab Hijau.
“Benarkah begitu?”, tanya Banyu kepada Biru dan Kuning.
“Benar, Banyu. Kami tidak berbohong.”, jawab Biru dan Kuning dengan serentak.
“Oh.... Ya sudah kalau begitu. Untuk yang berhalangan tetap menghormati, kan? Mmmm.... Kalau boleh tahu, apakah kalian sudah berencana untuk melanjutkan ke SMA?”, tanya Banyu.
“Tentu saja, Banyu. Kita semua ‘kan sama-sama sudah lulus SMP. Kalau menurutku, kami berempat mondok di pondok pesantren saja.”, jawab Kuning.
“Apa? Mondok di pondok pesantren? Memangnya kenapa?”, tanya Banyu dengan penuh penasaran.
“Kami tidak tahan dengan perilaku ayah kami. Kami selalu dicaci maki oleh para tetangga kami. Jadi, buat apa kami melanjutkan ke SMA bila hanya kamu yang selalu menjadi teman kami.”, jawab Biru.
“Oh.... Kalian tenang saja. Kebetulan, saya tengah berencana untuk melanjutkan sekolah ke SMAN 1 Kota Mungkid. Apakah ada yang mau ke sana bersamaku?”, ujar Banyu sambil bertanya kepada mereka.
“Oh.... Senang sekali! Kami senang sekali bila kamu mau mengajak kami untuk melanjutkannya ke sana. Terima kasih, Nyu!”, jawab Biru dengan hati gembira.
“Sama-sama. Mulai besok, aku ‘kan menunggu kalian di sana untuk mengikuti pendaftaran peserta didik baru. Sebelumnya, kalian harus minta izin kepada orang tua kalian terlebih dahulu sebelum kalian ke sana.”, balas Banyu sambil memperingatkan kepada mereka.
Keesokan harinya mereka datang ke sekolah dengan mengenakan seragam SMP yang masih layak pakai. Tidak lupa mereka membawa persiapan seadanya seperti ijazah SMP, surat tanda lulus, alat tulis, SKHUN sementara, foto hitam putih berukuran 3x4, dan uang pendaftaran senilai Rp 20.000,00. Sesampainya di sekolah, mereka membayar biaya formulir pendaftaran dan mengisi biodata di formulir yang tersedia. Mereka juga menempelkan foto mereka ke formulir dan kartu tanda peserta jika mereka lolos. Sambil menunggu hasil seleksi, mereka mengisi waktu liburan dengan bermain bola basket di lapangan yang berdekatan dengan rumah Mang Gadir. Saat Banyu mengoper bola ke arah Biru, ternyata operannya meleset ke jendela rumah hingga kaca jendelanya pecah.
“Masya Allah! Siapa yang memecahkan kaca jendela ini? Dan ini bolanya siapa?”, tanya Mang Gadir dengan geram.
“Ampun, om! Bola yang om pegang adalah bola saya. Saya minta maaf karena tadi saya tidak sengaja melemparkan bola ke kaca jendela itu. Padahal bola itu mau saya oper ke Biru.”, jawab Banyu sambil mengacungkan tangannya.
“Apa katamu? Tidak sengaja? Kamu keterlaluan! Lihat kaca jendelaku! Jendela rumahku berlubang karena bola kamu. Kamu harus ganti rugi! Dasar bekicot bunting! Rasakan ini!”, bentak Mang Gadir sambil melenturkan tubuhnya dan segera memukul Banyu dengan batu bata.
“Aduh! Sakit! Ampun, om! Jangan siksa aku lagi! Cukup, om! Sakit! Saya kapok!”, ucap Banyu sambil merintih kesakitan.
“Bohong! Kamu tidak pernah ada kapoknya. Seharusnya kamu sadar bahwa eike ini adalah kepala desa yang harus dihormati. Mengerti?”, ujar Mang Gadir sambil memukul tubuh Banyu yang hampir lemah.
Banyu hanya bisa mengangguk karena tubuhnya mulai lemas akibat pukulan dari batu bata yang dipegang oleh Mang Gadir. Ia tergolek lemah dan jatuh pingsan. Sementara Biru dan ketiga adik kembarnya terkejut saat melihat keadaan Banyu yang tidak berdaya akibat ulah ayahnya yang tidak manusiawi.
“Lihat dia! Banyu jatuh pingsan. Ini semua gara-gara ayah. Bagaimana ini?”, ucap Biru sambil meminta saran kepada mereka.
“Sebaiknya kita kabur saja, mbak. Ayah mulai hilang akal laksana harimau yang mau menerkam.”, jawab Merah.
“Kamu jangan gila, Rah! Mana mungkin teman kita yang terkena musibah, kemudian kita kabur? Yang benar saja. Seharusnya kita lapor kepada orang tuanya Banyu supaya mereka tahu kalau dia habis dihajar sama ayah kita.”, tegur Kuning sambil menepuk bahu kiri Merah.
“Mbak Kuning, ayah kita ‘kan seorang kepala desa. Percuma saja kita lapor kepada mereka. Nanti yang ada malah dikucilkan.”, ujar Hijau.
“Terserah kamu!”, bentak Kuning kepada Hijau.
Akhirnya mereka sepakat untuk kabur untuk meninggalkan ayahnya yang sedang bertengkar dengan Banyu. Biru memerintahkan mereka untuk berpencar ke suatu tempat. Kuning dan Hijau berlari menuju rumahnya Banyu sambil melaporkan insiden tersebut kepada orang tuanya, sedangkan Biru dan Merah berlari jauh hingga tersesat di kampung sebelah.
“Aduh! Kita tersesat, mbak. Kita tidak tahu jalan keluarnya.”, ujar Merah.
“Memangnya kita ada di mana sekarang?”, tanya Biru.
“Saya tidak tahu, mbak. Pokoknya kita tersesat di sini. Apalagi sekarang sudah malam. Lebih baik kita istirahat dulu.”, jawab Merah dengan tegas.
Tiba-tiba mobil semewah kereta kencana mulai menerobos jalan hingga lampu mobil itu menyorotkan mereka. Ketika mobil itu mulai menghampiri, mereka mulai menjerit pasca melihat sorotan lampu mobil itu. Naas, tidak ada seorang pun yang menghiraukannya. Tubuh mereka terpental oleh mobil itu hingga mereka tersungkur di tengah jalan. Afandi, sang empu mobil itu muncul dari bilik mobil.
“Astagfirullahal ‘adzim! Siapa mereka?”, ujar Afandi dengan merasa bersalah.
“Lho? Kok seperti masih sadar? Halo!”, ujar Sahara, kekasih Afandi yang mencoba membangunkan mereka.
Biru dan Merah masih tergolek lemas sambil merintih kesakitan dan tubuhnya telah berlumuran darah. Afandi dan Sahara mengangkat tubuh mereka ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, mereka harus mendapatkan perawatan intensif akibat kecelakaan tadi. Mereka baru dinyatakan sadar dari koma dua jam kemudian pasca operasi.
“Aduh! Badanku sakit sekali. Ini sudah jam berapa? Aku ada di mana sekarang?”, ujar Biru sambil merintih kesakitan.
“Mbak Biru! Mengapa tangan kita diinfus? Memangnya kita ada di rumah sakit ya? Dan orang yang di depan kita siapa?”, tanya Merah.
“Dek, kalian berada di rumah sakit sekarang. Tadi kalian kecelakaan karena ditabrak oleh mobil milik kakak. Padahal tadi kakak tidak sengaja. Jadi, kakak mohon maaf atas kejadian tadi.”, ucap Afandi dengan penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa, kak. Yang penting kita sudah selamat dari maut. Oh ya. Perkenalkan nama saya Biru dan ini saudara saya, Merah. Kami dari Kampung Dangdut. Kalau nama kakak siapa?”, sahut Biru sambil menanyakan nama mereka.
“Nama kakak Afandi. Kalian boleh memanggil kakak kak Afandi. Di samping kakak adalah pacar kakak. Namanya kak Sahara.”, jawab Afandi sambil memperlihatkan pacarnya di depan mereka.
Selama berada di rumah sakit, mereka menceritakan kronologinya dari awal tentang ayah mereka bahwa ayahnya selalu melakukan hal yang tidak manusiawi termasuk memukuli Banyu dengan batu bata hanya gara-gara pecahnya kaca jendela rumah akibat operan bola yang meleset. Mendengar cerita itu, Afandi dan Sahara sangat terkejut dengan ceritanya. Mereka mulai mencari akal agar Mang Gadir sadar dengan perilakunya. Usai dinyatakan sehat oleh pihak rumah sakit, mereka bergegas mengantarkan Biru dan Merah pulang ke kampung halamannya. Begitu juga dengan Kuning dan Hijau bersama para warga yang mau bekerja sama. Aksi mereka akhirnya dimulai bertepatan dengan kembalinya sang surya ke tempat peristirahatannya. Ketika Mang Gadir pulang dari kantor, kampung mulai sepi. Tidak ada seorangpun yang berani keluar rumah untuk beraktivitas. Naas, ketika beliau sedang menyanyi lewat HP, para warga mulai mengkroyoknya dengan senjata tumpul hingga babak belur.
“Ampun para warga! Ampun! Eike sengaja melakukan itu demi kebaikan kalian. Eike hanya ingin menghibur kalian dengan tingkah laku eike. Eike mengaku kalau itu salah. Eike sudah benar-benar kapok.”, ungkap Mang Gadir sambil menangis tersedu-sedu.
“Dasar tukang bohong! Mana ada tukang bohong yang mau mengaku? Anda ini kepala desa yang tidak tahu diri. Tidak beretika yang baik, suka mengancam, dan parahnya lagi kalau anda lebih sering menggoda para pria daripada menggoda para wanita.”, tanggap salah seorang warga.
“Heh! Apa yang dikatakan oleh orang tadi itu benar bahwa ayah telah melakukan kesalahan besar. Seharusnya ayah malu. Ayah harus mengerti tentang keadaan kampung ini. Masyarakat benar-benar malu dan jijik dengan tingkah laku ayah hingga akhirnya dicap sombong oleh mereka. Makanya taubat dong!”, kata Kuning dengan nada marah.
“Baiklah! Mulai hari ini eike mau minta maaf kepada kalian. Eike janji bahwa eike akan berubah dan memperbaiki diri. Eike mohon jangan ada yang dendam. Kalian cukup memaafkan eike yang hina ini.”, ujar Mang Gadir.
Akhirnya Mang Gadir harus menelan pil pahit yang diterimanya. Ia mulai bertaubat untuk memperbaiki dirinya dan berjanji untuk tidak akan pernah mengulanginya lagi. Kampung mulai kembali lestari. Mereka selalu saling bertegur sapa termasuk kepada Mang Gadir. Dengan berubahnya Mang Gadir menjadi pribadi yang baik, mereka beraktivitas kembali seperti biasa.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar